My Ping in TotalPing.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ٬ اسَّلآمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

AHLAN WA SAHLAN

Selamat berkunjung; Selamat mengikuti dakwah guna meningkatkan pemahaman figh sunah sebagai penambah bekal menuju Kehidupan Islami. Mulai diluncurkan 27 Pebruari 2011, Insya Allah, diposting sambil menunggu panggilan Nya.

وَسَّلَا مُ عَلَيكُمْ وَرَهْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَا تُهُ

Salam Hormatku dan Keluarga

situs fiqh sunah ini : http://aslam5.blogspot.com klik situs aqidah syariah : http://aslam3.blogspot.com

Monday 14 March 2011

006. MUSYRIK


Musyrik, adalah perbuatan membuat tandingan dengan Dzat Allah س, dosanya tak terampunkan; bahkan langsung dikirim ke blok N tempat kembalinya

Ketika para remaja sudah memenuhi serambi masjid kompleks, Bahjedun membuka tausiah kemudian angkat bicara, “Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan derajat karena menimba Ilmu Nya. Pada tausiah yang lalu, sudah kita bahas penyelenggaraan Syukur Bumi dan Syukur Laut atau dikenal Sedekah Bumi dan Sedekah Laut, dan sedekah-sedekah lain, seperti sedekah untuk makam yang dikeramatkan, dan sebagainya”; berhenti bicara, ada remaja yang ingin bertanya; setelah diiyakan, lalu katanya, “Pada tausiah yang lalu, Pak Ustadz mengatakan, perbuatan sedekah-sedekah seperti itu adalah musyrik. Maksudnya apa?”.
Atas pertanyaan ini, Bahjedun mengemukakan, “Musyrik berasal dari Bahasa Al Quran yang diindonesiakan, dari kata dasar syaraka; artinya serikat; orang yang menjadikan sesuatu memiliki sifat dan kekuasaan seperti Allah س, disebut musyrik. Hal ini bertumpu pada keyakinan dasar Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS Al Ikhlash, ayat 1-4, bahwa sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Esa, satu-satunya, tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak ada tandingan bagi Nya dan kepada Nya saja segala sesuatu bergantung. Jadi, bila memposisikan dewi ini, dewi itu, ratu ini ratu itu, makam sini makam sana, pohon ini pohon itu, menjadi salah satu yang ikut mempengaruhi dan ikut menentukan kehidupan, maka itu namanya perbuatan syirik. Selain dalam bentuk perbuatan, syirik dapat berupa sikap dan pendapat; contoh yang sangat sederhana begini; orang terjatuh karena terpeleset; lalu bilang, wah untung pake sepatu karet sehingga dapat melindungi aku dari cedera keseleo. Orang ini sudah dapat disebut musyrik, karena sesungguhnya yang melepaskan dirinya dari keseleo adalah Allah س, bukan sepatunya; dalam kasus ini, Allah س dipersamakan dengan sepatu karet sebagai penyelamat dari keseleo”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Dari contoh Sedekah Bumi, ungkapan syukur ditujukan kepada dewi ini dewi itu selaku penguasa bumi; begitu juga Sedekah Laut sebagai syukur kepada ratu ini ratu itu, yang menguasai laut. Padahal sudah sangat gamblang, Allah س yang memberi rizki dari bumi ataupun dari laut; dengan begitu, pelaku sedekah itu menganggap dewi dan ratu yang diberi ungkapan syukur memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Allah س yaitu pemberi rizki”; berhenti bicara, karena ada remaja yang bertanya; setelah diiyakan, tanyanya, “Pak Ustadz, dengan contoh keseleo dan sedekah bumi atau sedekah laut, apakah memiliki bobot syirik yang sama?”.
Setelah membetulkan silanya, Bahjedun mengemukakan, “Dalam Islam, dikenal dua jenis syirik; pertama, disebut syirik jali’ atau syirik nyata atau syirik mutlak seperti contoh pemujaan kepada dewi dan ratu dalam sedekah tadi; perbuatan syiriknya dilakukan secara sadar; kedua, syirik asghar atau syirik khafi yaitu syirik samar-samar atau syirik kecil seperti contoh orang keseleo itu; mungkin saja tidak bermaksud membuat tandingan terhadap kekuasan Allah س tetapi karena terbawa oleh kebiasan percakapan”; remaja lainnya menyela bertanya, “Pak Ustadz, bagaimana dosanya?”.
“Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan karunia Nya”; begitu Bahjedun mulai memberi penjelasan; lalu katanya, “Bila ditilik dari perbuatan syirik yang dilakukan tanpa menyadari bahwa itu merupakan perbuatan syirik, Insya Allah mendapat ampunan Nya; sesungguhnya, syirik samar itu termasuk dosa kecil; Insya Allah bisa terhapuskan dengan sendirinya, dari amalan kebaikannya dan ibadah kepada Nya, misalnya dari shalat yang dilaksanakan. Tetapi semua itu kembali kepada Nya saja, karena Dia saja berhak mengampuni atau menyiksa umat Nya. Namun jika menyadari akan kesalahan karena berbuat syirik, lebih diutamakan mengucap istighfar. Sedangkan syirik jali’ merupakan dosa besar; misalnya dalam QS An Nisa’ (4): terdapat firman Nya,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً ﴿٤٨﴾
Artinya, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. Ayat ini dengan sangat gamblang menegaskan, perbuatan syirik merupakan dosa besar yang tak terampunkan”; berhenti sejenak, karena ada remaja yang mau bertanya; setelah Bahjedun mengangguk, lalu tanyanya, “Pak Ustadz, dengan mengambil contoh Sedekah Bumi atau Sedekah Laut; mereka umumnya juga muslim, shalat, puasa, zakat, mungkin juga haji; bagaimana ?”.
Bahjedun menjelaskan, “Setiap muslim yang mukmin, harus meyakini, tiada tempat bergantung selain kepada Nya; rizki, sehat, sakit, selamat, semuanya atas izin Nya saja tidak dari yang lain. Marilah kita cermati QS Al An`am (6):86 terdapat firman Nya,
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٨٢﴾
Artinya, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Dengan bahasa yang sangat halus, melalui ayat ini, Allah س menurunkan lafadz tidak mencampur adukkan; artinya, Allah س mensinyalir gejala kaum muslim yang mencanpuradukkan keimanan dengan kemusyrikan, seperti yang kita lihat sekarang ini. Menyatakan diri sebagai muslim, ya shalat, ya zakat, ya melakukan rukun Islam lainnya, tetapi juga menyelenggarakan kegiatan yang bernuansa musyrik seperti contoh-contoh tadi”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan nikmat Nya; sampai disini dulu tausiah kita hari ini, semoga Allah س mengizinkan kita bertemu lagi dalam tausiah yang akan datang”; begitu Bahjedun mengakhiri tausiah diiring ucapan hamdalam dan salam; para remaja berkemas dan bersegera pulang.

007. WALI NIKAH

Bagi segolongan muslim, ada kalanya tidak memahami siapa yang berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya. Karena sesungguhnya, setiap anak perempuan harus dinikahkan oleh wali; bisa ayah kandung, bisa wali hakim. Kekeliruan mengambil wali dapat menjadikan pernikahan batal demi hukum Islam.


Sesudah tausiah berakhir, Gojèl dan isterinya masih tinggal di masjid; keduanya ingin minta pendapat; oleh Bahjedun, keduanya diajak ke rumah, supaya pembicaraan lebih fokus. Isteri Bahjedun menyilahkan keduanya duduk di teras, sementara Bahjedun masuk ke dalam; tak lama kemudian, isteri Bahjedun keluar lagi membawa senampan kopi dan pisang goreng, penganan kesukaan Bahjedun. Usai bicara sana-sini, Gojèl menyampaikan maksud kehadirannya; “Pak”; begitu Gojèl mulai bicara. Lalu diteruskan, “Saya mau memberi tahu, mungkin Bapak belum tahu”; berhenti sejenak, Gojèl nampak termangu, sepertinya mengatur nafas untuk memilih kata-kata; lalu katanya, “Begini, sebenarnya anak perempuanku itu, anak tiri. Ketika aku menikahi janda kembang ini”; begitu lanjut kisah Gojèl sambil memandang isterinya; lalu diteruskan, “Dia tidak cerita kalau punya satu anak perempuan, yang dirawat neneknya. Setelah neneknya wafat, anak itu minta sekolah di kota; barulah isteriku bicara soal anak itu. Saya bisa menerima kehadirannya, karena saya sudah cinta abis dengan maknya”. Berhenti sejak, lalu kata Bahjedun, “Itu kan bagus; artinya kamu bisa tetap rukun sekalipun baru tahu punya anak tiri. Lalu apa persoalannya?” Pertanyaan ini tak segera dijawab; diambilnya sebatang rokok, disulutnya. Lalu katanya, “Persoalannya, siapa yang akan menjadi Wali Nikah? Hubungan isteriku dengan mantan suaminya tidak seomongan lagi. Bagaimana jalan keluarnya?”
Setelah merenung sejenak, Bahjedun mengemukakan, “Rasulullah  ص bersabda yang dibukukan menjadi Hadis yang diriwayatkan Imam Hambali ر, Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Hadis inilah yang menjadi rujukan Madzhab yang banyak dianut masyarakat kita, yaitu Madzhab Syafi`i, Hanafi dan Hanbali. Para Jumhur Fiqh membagi wali menjadi dua; pertama, Wali `Ijbar; wali yang berwenang penuh atas perwalian seseorang; yaitu Ayah, Ayah dari Ayah dan Garis lurus keatas. Kedua, Wali Ikhtiyar atau Wali Mukhtar; wali yang mempunyai wewenang karena dipilih atau ditunjuk oleh Wali `Ijbar”; berhenti sejenak, lalu diteruskan, “Kamu harus minta ayah anak itu menjadi Wali Nikah; kalau tidak mau, mintalah surat penyerahan kepada Petugas KUA sebagai wali nikah bagi anaknya; petugas ini menjadi Wali Ikhtiyar”; setelah berhenti sesaat, lalu dikatakan, “Kenapa ayah memiliki wewenang penuh sebagai Wali Nikah? antara lain dapat ditelusuri dari QS Al Qashash (28):27,
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (٣)
Ayat ini menegaskan, Berkatalah dia (Syu`aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu, Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"; berhenti sejenak, Gojèl dan isterinya disilahkan minum dan mencicip pisang goreng. Lalu dikatakan, “Melalui ayat ini Allah س mengisyaratkan dengan cara sangat halus, ayah adalah Wali Nikah yang syah dan menjadi keharusan. Karena itu, sudah sepatutnya semua lelaki yang seharusnya menjadi ayah dari janin yang disemai, baik dalam ikatan pernikahan atau diluar ikatan itu, harus bertanggung jawab sebagai Wali Nikah untuk menikahkan anak perempuannya; tanpa mempertimbangkan bentuk kesalahan ibu dari anak perempuan itu dan apapun bentuk hubungan dengan perempuan yang telah melahirkan bayinya. Sekalipun pasangan perkawinan itu adalah haram jadah, maka ayah kandung atau penyemai benih janin harus menjadi Wali Nikah. Bila ayah kandung sudah meninggal, adik laki-laki dari ayah berkewajiban menjadi Wali Nikah; bila ia seorang kafir, maka harus diwalikan oleh saudara kandung ayah yang mukmin”.
Mendengar penjelasan ini, Gojèl dan isterinya saling berpandangan; lalu isterinya diminta menemui mantan suaminya, bagaimanapun caranya untuk mendapat surat penyerahan perwalian kepada Petuga KUA untuk menjadi Wali Hakim. Lalu diteruskan, “Dalam Hadis tadi juga ditegaskan, selain ada Wali Nikah juga harus menghadirkan dua orang saksi; kesalahan yang sering terjadi, ya diambil saja saksi dari Pegawai KUA. Padahal yang dimaksud dengan saksi itu adalah orang yang mengetahui secara persis, bahwa anak perempuan yang dinikahkan adalah anak kandung dari orang yang menyerahkan perwalian kepada Wali Hakim”; keduanyapun mengangguk-angguk. Setelah mendapat penjelasan ini, keduanya pamit dan tak lupa isteri Gojèl kirim salam untuk Bu Bahjedun.

Friday 11 March 2011

005. SYUKUR LAUT


Melakukan upacara Syukur Laut atau disebut Sedekah Laut, merupakan upacara mengucap kepada sang penguasa laut; rasa syukur patut diunjukkan karena telah memberi kemudahan rizki dan keselamatan dalam pelayaran. Amalan initidak Islami dan mengarah pada kemusyrikan
005. SYUKUR LAUT
Bahjedun segera membuka tausiah, ketika para remaja sudah memenuhi serambi masjid kompleks; lalu angkat bicara, “Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan barokah Nya. Pada tausiah yang lalu, sudah kita bahas penyelenggaraan Syukur Bumi atau dikenal dengan istilah Sedekah Bumi. Kecuali itu, masih ada sedekah-sedekah lain, misalnya syukuran di makam yang dikeramatkan, Syukur Laut, dan masih banyak lagi”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Seperti halnya Sedekah Bumi, Syukur Laut juga lebih dikenal dengan Sedekah Laut; biasanya dilakukan oleh komunitas yang tinggal di pesisir. Unsur yang mendorong dilaksanakannya Sedekah Laut, terutama karena laut telah memberi rizki dan telah bermurah hati untuk menyelamatkan jiwa para nelayan yang mengarungi sampai jauh dari garis pantai. Marilah kita cermati, ayat-ayat Al Quran yang menegaskan tentang karunia laut bagi manusia; misalnya dalam QS Al Isra’ (17):6 yang mencantumkan firman Nya,
رَّبُّكُمُ الَّذِي يُزْجِي لَكُمُ الْفُلْكَ فِي الْبَحْرِ لِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ إِنَّهُ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً ﴿٦٦﴾
Artinya, Tuhan mu adalah yang melayarkan kapal-Kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari karunia Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu. Ada dua hal yang difokuskan pada ayat ini, pertama, Dia saja yang mengizinkan perlayaran di lautan; kedua, Dia saja yang mengizinkan manusia untuk mencari karunia yang tersimpan di lautan, antara lain ikan-ikan berbagai bentuk dan berbagai ukuran. Penegasan lainnya, dapat dicermati dalam QS An Nahl (16):14 terdapat firman Nya,
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُواْ مِنْهُ لَحْماً طَرِيّاً وَتَسْتَخْرِجُواْ مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٤﴾
Artinya, Dan Dia lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia Nya, dan supaya kamu bersyukur. Melalui ayat ini, Dia menegaskan dengan sangat gamblang, betapa Dia telah menundukkan laut bagi manusia; untuk apa? untuk meraih rizki yang tersimpan didalamnya. Rizki Nya berupa ikan, atau benda-benda yang dapat dipakai sebagai perhiasan seperti mutiara, dan menjadikan laut sebagai sarana transportasi yang melayarkan kepal-kapal”; berhenti sejenak, karena ada yang mengacungkan tangannya; setelah diiyakan, lalu tanyanya, “Pak Ustadz, dalam ayat tadi disebutkan, dan supaya kamu bersyukur, bukankah Sedekah Laut itu merupakan bentuk syukur?”; suasana menjadi hening diseling angin sejuk semilir memasuki masjid.
Keheningan terpecahkan, ketika Bahjedun bicara, “Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan nikmat Nya. Betul sekali, bahwa setiap umat diwajibkan syukur atas seluruh karunia Nya; baik yang berasal dari darat, udara, maupun laut. Tetapi pelaksanaan Sedekah Laut tidak mengedepankan syukur kepada Allah س melainkan ucapan syukur dipanjatkan kepada Ratu ini, Ratu itu. Para Ratu itu tidak memberi rizki sedikitpun, karena sesungguhnya Allah س saja yang memiliki sifat Maha Memberi Rizki”; Bahjedun terhenti, karena remaja itu minta waktu bertanya lagi. Saat Bahjedun mengangguk, ditanyakan, “Bagaimana jika Sedekah Laut itu dilaksanakan dengan cara Islami dilengkapkan dengan doa kepada Allah س, bukan doa syukur kepada ratu-ratu?”. Menanggapi pertanyaan ini, Bahjedun menjelaskan, “Islam, sebagai satu-satunya agama di sisi Allah س memiliki adab tata cara melakukan syukur atas seluruh karunia Nya; bukan dengan mengadakan upacara seperti itu. Misalnya dengan melafadzkan hamdalah disertai doa, Ya Allah, kami mengucap syukur atas seluruh karunia yang Engkau berikan; izinkahlah kami untuk memanfaatkan seluruh karunia Mu pada jalan yang Engkau ridhai; ini contoh saja; ucapan lain dapat direka sendiri sesuai dengan keinginannya”; berhenti sejenak.
Sesaat kemudian diteruskan, “Mengucap syukur merupakan kewajiban, seperti yang terdapat dalam firman tadi. Allah س sangat menekankan perlunya mengucap syukur, karena sesungguhnya sebagian manusia enggan bersyukur. Sinyalemen keengganan bersyukur, misalnya dapat dicermati dalam QS Al Isra’ (17):67 yang mencantumkan firman Nya,
وَإِذَا مَسَّكُمُ الْضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإِنْسَانُ كَفُوراً ﴿٦٧﴾
Artinya, Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. Ayat ini menegaskan, ciri manusia jika menghadapi bahaya, yaitu selalu kembali kepada Allah س; tetapi bagi kalangan komunitas yang menyelenggarakan Sedekah Laut, apakah jika menghadapi bencana juga memohon kepada Allah س atau kepada ratu ini, ratu itu?”; tanpa menunggu jawaban, Bahjedun meneruskan, “Jika memohon keselamatan kepada ratu ini, ratu itu, maka musyriklah mereka; padahal Allah س saja yang dapat menyelamatkan semua umat Nya. Anehnya, melalui ayat ini sudah ditegaskan, manusia selalu suka tidak berterima kasih”.
Tak lama kemudian, Bahjedun menutup tausiah; para remaja saling bicara satu sama lain, dan bersegera pulang.

Tuesday 8 March 2011

004. SYUKUR BUMI



Syukur Bumi atau yang oleh masyarakat disebut dengan Sedekah Bumi, merupakan amalan yang tidak Islami dan mengarah pada kemusyrikan

Ketika para remaja sudah duduk memenuhi masjid kompleks, segera saja Bahjedun membuka tausiah; belum lagi mulai bicara, seorang remaja mengacungkan tangannya; setelah diiyakan, lalu katanya, “Pak Ustadz; semalam ada tayangan wayang kulit di tv dengan dalang yang sudah bertitel haji. Pak Dalang mengatakan, agar melestarikan sedekah bumi sebagai bentuk ucapan syukur. Bagaimana menurut Bapak?”; suasana menjadi hening.
Sesaat kemudian, Bahjedun angkat bicara, “Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan derajat Nya karena tak segan menimba Ilmu Nya. Kebetulan, aku juga menonton wayang itu; dan berulang-kali Pak Dalang menganjurkan sedekah bumi dan menyatakan bukan perbuatan haram. Sedekah bumi, dilaksanakan sebagai tanda syukur kepada bumi yang telah memberi rizki kepada manusia; tetapi betulkah bumi memberi rizki?”;  tanpa menunggu jawaban, lalu diteruskan, “Untuk menyampaikan pandangan Islam, bukan pendapatku, marilah kita cermati QS Al Baqarah (2):22, yang memuat firman Nya,
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٢﴾
Artinya, Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. Melalui ayat, Dia menegaskan, sesungguhnya bumi telah dijadikan Nya terhampar luas; lalu diturunkan air dan dari air itu ditumbuhkan tanaman. Ini bermakna, Dia saja yang memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman. Kemudian dalam QS Al An`am (6):99, memuat firman Nya,
وَهُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِراً نُّخْرِجُ مِنْهُ حَبّاً مُّتَرَاكِباً وَمِنَ النَّخْلِ مِن طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِّنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انظُرُواْ إِلِى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿٩٩﴾
Ayat ini diawali dengan firman Nya, Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Sekali lagi, terdapat penegasan, Dia sajalah yang menumbuhkan tanaman di bumi setelah diturunkannya air hujan; terusan ayat ini mengandung makna, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Dalam bagian ayat ini ditegaskan, Dia saja yang memperbanyak bulir buah tanaman itu, dengan contoh kurma, zaitun dan delima; dan Dia saja yang menjadikan buah itu matang untuk menjadi makanan makhluk Nya. Pada akhir ayat ini, berisi firman Nya, Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Rizki buah-buahan yang dihasilkan dari tanaman, merupakan karunia Ilahi bagi makhluk Nya; bukan saja untuk manusia, tetapi dapat kita saksikan, burung-burung juga memperoleh rizki dari tanaman”; berhenti bicara, karena ada yang ingin bertanya; setelah diiyakan, lalu katanya, “Tetapi, Pak Ustadz, bukankah sedekah bumi itu diawali dengan bacaan Al Quran dan doa yang dilantunkan dalam bahasa daerah dan Bahasa Arab?”. Mendapat pertanyaan ini, Bahjedun mengemukakan, “Betul, dalam upacara itu diawali dengan bacaan Surah Al Fatikhah dan diakhiri dengan doa; tetapi dalam doa yang dilantunkan dengan bahasa daerah dikatakan, terima kasih dan syukur kepada bumi, dewi ini, dewi itu, yang telah memberi kemurahan sehingga bumi menghasilkan panen yang baik, terbabas dari hama, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dan syukur inilah yang menjadikan upacara semacam ini, tidak mencerminkan keyakinan Islami. Bukankah bumi ini ciptaan Allah س?; bukankah Dia saja yang menurunkan air hujan sehingga dari bumi bisa ditumbuhkan tanaman?; bukankah Dia saja yang menggandakan butir-butir buah dari setiap tanaman?”; terlihat seorang remaja ingin bertanya; setelah Bahjedun mengangguk, ditanyakan, “Kalau begitu, siapa yang bersalah dalam memulai upacara semacam ini?”.
Bahjedun membetulkan silanya, lalu dikatakan, “Pada masa pengenalan Islam dahulu, para Ulama Islam mendakwahkan agama secara persuasif; artinya memasukkan ajaran dengan cara yang tidak mendobrak ajaran yang sudah ada, misalnya ritual sedekah kepada dewa-dewi atau disebut sedekah bumi. Para Ulama Islam masa dahulu membiarkan upacara seperti ini, tetapi memasukkan unsur Islami, antara lain dengan bacaan ayat-ayat Al Quran dan doa-doa dalam Bahasa Arab. Meski begitu, terlalu sulit untuk menelusuri sejarah, siapa yang memulai memasukkan unsur Islami dalam upacara seperti ini”; berhenti sejenak, lalu katanya, “Barangkali, bukan masanya lagi untuk mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana kita meluruskan budaya sedekah bumi agar tidak menyimpang dari keberimanan Islam”.
Sesaat seusai berhenti bicara, Bahjedun menutup tausiah minggu pagi itu; para remaja terlihat puas memperoleh pengayaan ilmu, mungkin dalam hatinya tumbuh semangat bagaimana cara terbaik untuk menghilangkan, setidak mengurangi upacara sedekah bumi dan bentuk-bentuk sedekah semacam itu.

Saturday 5 March 2011

003. TANDA SYUKUR


Syukur, adalah separuh dari iman; separuhnya lagi adalah sabar, demikian dikisahkan dalam HR Al Baihaqi ر; marilah kita selalu syukur

Minggu pagi sesudah Shalat Dhuha berjamaah, di masjid kompleks sudah berkumpul para remaja; Bahjedun membuka tausiah pagi itu dengan memperkenalkan sepuluh mahasiswa yang ikut bergabung. Sesaat kemudian, dibukanya tausiah dan ditanyakan, apakah ada yang ingin ditanyakan; suasana hening, seolah memberi kesempatan untuk merangkai kata guna bertanya. Keheningan terpecahkan, ketika Bahjedun menyilahkan Agépé yang mengacungkan tangannya; lalu katanya, “Pak Ustadz”; begitu Agépé memanggil dosennya ketika bertausiah di masjid ini; lalu diteruskan, “Dalam tausiah dulu dibahas seorang ibu muda yang melakukan sujud syukur; lalu dibahas syarat menunaikan sujud syukur; Pertanyaan saya, perlukah kita mengucap syukur ?”.
“Para remaja yang Insya Allah selalu ditambahkan karunia Nya; memang betul pernah dibahas tentang seorang ibu muda melakukan sujud syukur di Mal karena memenangkan Undian berhadiah Ibadah Umrah. Undian itu sendiri, adalah perbuatan yang haram karena maknanya adalah mengundi nasib, seperti yang dilakukan kaum kafir Kota Mekah pada masa kenabian Muhammad Rasulullah ص yang menggunakan anak panah. Pelaksanaan sujud syukur harus memenuhi 4 syarat, yaitu pertama, sujud sesaat setelah menerima berita gembira yang khalal; kedua, sujud dilakukan dalam keadaan suci; ketiga, sujud ditunaikan di tempat yang suci; keempat, sujud dilakukan dalam waktu lama dengan melafadzkan bacaan tertentu. Menjawab pertanyaan, apakah wajib mengucap syukur, marilah kita cermati makna QS Al Kautsar (109):1-2, yang berisi firman Nya,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾
Artinya, (1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. (2) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Ayat ini menegaskan, betapa banyak nikmat Nya yang diterimakan kepada umat Nya; bagi yang beriman maupun yang kafir”.
Setelah berhenti sejenak, lalu diteruskan, “Udara yang kita hirup sejak lahir sampai akhir hayat, diperoleh tanpa biaya; jika harus dibeli, alangkah banyak uangnya.  Sinar matahari yang berguna untuk kesehatan tubuh dan pertumbuhan tanaman, juga bisa diperoleh secara cuma-cuma; seandainya harus dibeli, berapa uang yang harus dikeluarkan? Kalau mau tidur, harus mengantuk dulu, sehingga bisa mencari tempat yang aman; di kasur, di dipan atau di lantai sekalipun; bagaimana jika tidur tanpa didahulu rasa kantuk?, bisa-bisa tertidur dalam perjalanan; mungkin saat mengendarai motor atau sedang mengendarai mobil; bisa celaka”; Bahjedun berhenti, karena di sana-sina terdengar cekikikan lirih.
Dari remaja kompleks ada yang ingin bertanya; setelah disilahkan, katanya, “Apakah ada dalil yang mengharuskan untuk melakukan syukur ?” Mendengar pertanyaan ini, Bahjedun membuka Kitab Tafsir Al Quran, lalu katanya, “Dalam QS Ibrahim (7):7, terdapat firman Nya,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾
Artinya, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu syukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku), maka sesungguhnya adzab Ku sangat pedih". Firman ini diwahyukan kepada Nabi Musa ع ketika para pengikutnya tidak melakukan syukur setelah diselamatkan dari kejaran tentara Fir`aun (laknatullah); lalu diwahyukan kepada Nabi Muhammad Rasulullah ص; sebagai peringatan kepada kaum yang tidak syukur atas seluruh nikmat Nya. Ayat ini mengisyaratkan, agar setiap umat melakukan syukur dan dipastikan Dia menambahkan kenikmatan bagi mereka yang syukur; dan bagi yang mengingkari nikmat Nya, niscaya mendapat siksa pedih”.
Seorang remaja mengacungkan tangannya, setelah diiyakan, katanya, “Pak Ustadz, apa maksud dari lafadz yang syukur pasti ditambah nikmat Nya, dalam ayat tadi?” Setelah Bahjedun membetulkan silanya, lalu dikatakan, “Kalau kita syukur karena mendapat nilai yang baik bukan karena menyontek, Insya Allah, Allah س menambahkan kecerdasan kepada kita. Kalau mengucap syukur karena terlepas dari bahaya, Insya Allah, Dia menambahkan keselamatan bagi kita”; berhenti sebentar, lalu diteruskan, “Kejadian yang membiasa kita berucap syukur, adalah ketika kita bersin; tetapi yang sering kita dengar, kalau bersin malah mengumpat, karena bersin dianggap mengganggu dirinya. Marilah mencermati HR Bukhari dari Ali عنهما, dikatakan, bahwa Nabi ص bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah mengucapkan alkhamdulillah, dan bagi yang mendengar, hendaknya mengucapkan untuknya yarkhamukallah (semoga Allah memberikan rahmat kepadamu). Apabila ia mengucapkan kepadanya yarhamukallah, hendaklah orang yang bersin mengucapkan yahdi kumullah wa yushlihu balakum (Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki hatimu)”. Hadis ini memberi dua tuntunan; pertama, adab etika bersin yang menempatkan bersin sebagai nikmat Nya; kedua, mengucap alkhamdulillah mencerminkan sikap syukur. Jadi kalau kita menerima kabar yang menggemberikan lalu mengucapkan lafadz alkhamdulillah, maka ucapan itu sudah termasuk tanda syukur”.
Sesaat setelah berhenti bicara, Bahjedun menutup tausiah singkat di minggu pagi itu; para remaja terlihat puas memperoleh pengayaan ilmu ini, meski dalam benaknya masih tersimpan berbagai pertanyaan yang dapat menjadi bahan tausiah mendatang.

Wednesday 2 March 2011

002. SUJUD SYUKUR


Sujud Syukur, adalah bersyukur dengan cara sujud, sesaat sesudah mendengar kabar yang dikhalalkan. Dilaksanakannya dalam keadaan suci, ditempat yang suci disertai dengan bacaan tertentu, sesuai dengan tuntunan Rasulullah ص.

Nokito ingat, ketika bersama Agépé bertanya kepada Bahjedun; ada satu hal yang masih mengganjal hatinya; kini, saat kuliah baru saja usai, diajaknya Agépé dan teman lain untuk menemui Bahjedun. Saat sudah bertemu di Ruang Tunggu Dosen, Nokito berkata, “Pak, kalau ada waktu, kami ingin bertanya”; Bahjedun mengisyaratkan setuju; lalu ditanyakan, “Kenapa ibu muda yang mendapat hadiah Undian untuk Ibadah Umrah itu sujud di Mal?”; mendengar pertanyaan ini, Bahjedun mengajak mereka duduk di ruang tamu dosen.
Katanya, “Dia bersujud, mungkin maksudnya Sujud Syukur”; lalu diambilnya Kitab Tafsir Al Quran dan Kitab Hadis; kemudian dikatakan, “Lafadz sujud, memiliki pengertian yang berkembang dalam sejarah Islam. Dimulai dari perintah Allah س kepada malaikat dan jin untuk bersujud kepada Adam ع, dalam QS Al Baqarah (2):34. Makna lafadz sujud adalah “memberi penghormatan”; begitu juga dalam QS Yusuf (12):100, yang mengisahkan, Nabi Yusuf ع bersujud kepada ibu-bapaknya ketika keduanya berkunjung ke Mesir; maksud sujudnya adalah sebagai “tanda berbakti”. Ada ayat yang menerangkan bersujud, tetapi kita tidak mengerti bagaimana cara sujudnya; misalnya dalam QS An Naml (16):49 difirmankan,
وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِن دَآبَّةٍ وَالْمَلآئِكَةُ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ ﴿٤٩﴾
Artinya, Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Meski tidak tahu bagaimana cara sujudnya, tetapi maksud lafadz sujud dalam ayat ini adalah tunduk dan patuh”; Bahjedun berhenti bicara, lalu diteruskan, “Allah س berfirman yang dibukukan dalam QS Al Hajj (22):26,
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ﴿٢٦﴾
Maknanaya, Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. Ayat ini menegaskan, agar Nabi Ibrahim ع memelihara kawasan Ka’bah, antara lain untuk sujud secara fisik, sebagai salah satu pernyataan patuh dan taat kepada Nya saja”; saat Bahjedun berhenti bicara, terdengar Agépé menyela, “Yang kudengar Pak, ibu itu sujud syukur; apa betul begitu?; bagaimana caranya?. Bahjedun tidak langsung menjawab, tetapi menyilahkan dua mahasiswa lagi yang ingin bergabnng; lalu katanya, “Islam mengenal sujud syukur; pelaksanaannya, dapat mengikuti kisah Ahmad dan dinilai shahih oleh Hakim dalam HR Abdul Rahman Ibnu Auf عنهم; ia  berkata: Nabi ص pernah sujud; beliau memperlama sujud itu, setelah mengangkat kepala, beliau bersabda: Sesungguhnya  Jibril datang kepadaku dan membawa kabar gembira, maka aku bersujud syukur kepada Allah". Selain itu, dalam HR Al Barra' Ibnu Azib dari Baihaqi dari Bukhari عنهم; dikisahkan, Nabi Muhammad Rasulullah ص mengutus Ali ke Negeri Yaman; lalu Ali mengirim surat tentang Raja Yaman yang bersedia memeluk Islam. Setelah membaca surat itu, Nabi Muhammad Rasulullah ص sujud syukur; saat itu beliau di masjid. Bacaan dalam sujud syukur, dapat mengacu pada HR Ath Thabrani ر; ia meriwayatkan, ketika Nabi Muhammad Rasulullah ص sujud syukur, melafadzkan bacaan :
يَا رَبِّ ٬ لَكَ لْحَمْدُ كمَا يَنبَغِي لِجَلَا لِ وَجْهِكَ ولِعَظِيمِ سُلْطَا نَكَ
Artinya, "Ya Tuhanku, bagi Mu segala puji yang layak bagi keagungan wajah Mu dan kebesaran kekuasaan Mu"; beliau berlama-lama sujudnya.
Nokito dan teman-temannya, nampak memahami penjelasan itu; lalu Nokito bertanya, “Pak, kalau sujudnya di Mal, atau didepan pintu penjara, atau di landasan bandara, atau di pelataran kedatangan bandara, seperti yang ditayangkan di televisi itu, yang menurut saya, tempat itu tidak suci, apa bisa disebut sebagai sujud syukur?”. Bahjedun menghela nafas dan sudah memperkirakan akan ada pertanyaan seperti itu; lalu dijelaskan, “Tidak ada larangan sujud syukur dimanapun; tetapi dalam Fiqh Sunah diterangkan, sujud syukur harus memenuhi empat syarat; yaitu pertama, sujud dilakukan sesaat setelah menerima berita gembira yang khalal; kedua, dilakukan dalam keadaan suci dari hadas besar dan hadas kecil; ketiga, menunaikan sujud di tempat yang terbebas dari najis atau tempatnya suci; keempat, sujud dilakukan dalam waktu lama dengan melafadzkan bacaan tadi”; berhenti sejenak, lalu diteruskan, “Kalau sujud syukur di Mal, di depan pintu penjara, di bandara, ya perlu ditelaah lagi, apakah waktu sujud syukur, dirinya suci dari hadas besar dan hadas kecil; apakah melafadzkan bacaan itu; dan syarat lainnya”; para mahasiswa itu nampak puas mendengar jawaban Bahjedun.
Alarm di HP Bahjedun berbunyi; lalu dikatakan, agar mereka menyatu ke pengajian remaja di masjid kompleks, setiap Hari Minggu pagi didahului dengan Shalat Dhuha berjamaah; para mahasiswa mengangguk, lalu mereka bubaran; masing-masing harus menunaikan kewajibannya. Ada yang kuliah, ada yang pergi ke kantin kampus menunggu kuliah berikutnya. Bahjedun nampak bergegas ke ruang kuliah.